Pengupas Kerang

Dipojok kampung nelayan ada tenda kusam disangga kayu, didalamnya banyak warga terutama ibu2. Mereka terlihat tekun mengupas satu persatu kerang, mencungkil dengan hati2 agar lepas dari kulitnya. “Lumayan, abis sekarang suami nggak bisa melaut solarnya mahal”, ujar seorang ibu. Si kecil ikut menunggu, diayun dengan kain diantara tiang penyangga tenda. Dia nyenyak seolah tahu ibunda tengah mengumpulkan receh buat nanti malam makan dirumah. “Lima ribu buat sebaskom (lebih kurang sekilo) ngupasin kerang”, lanjutnya.
Ratusan mungkin ribuan kerang dikupas dalam sehari oleh tangan2 sabar dengan upah yang bikin tak sabar tapi tuntutan perut memaksa mereka untuk tetap sabar, menjalani waktu sebagai pengupas kerang.
“Terus kerang direbus sambil diaduk kira2 setengah jam”, terang seorang bapak yang bertugas mengaduk rebusan kerang. Diaduk dengan air mendidih yang mengepulkan asap keudara, seolah membawa mimpi2 mereka yang tak pernah disentuh. Bahkan mungkin mereka sendiri takut untuk memimpikannya.
“Abis itu dipindahin buat diwarnain, biar sedap keliatannya,” lanjutnya. Disiapkan air yang telah dicampur pewarna pakaian lalu dituangkan pada wadah berisi kerang yang telah direbus. Kadang warna membuat mata mengajak perut untuk berselera maka dimanipulasilah kerang. “Didiamkan satu jam sambil diaduk baru diangkat trus siap dijual,” terangnya.
Masih tentang orang2 kuat yang tak pernah menadahkan tangan meski hari2 dihimpit kekurangan. Beberapa rupiah yang didapat tidak membuat ketekunan mereka berhenti meski kadang sinetron di TV tempat lelang ikan merayu.
Buat mereka yang penting bisa makan nanti malam, sambil berharap anak bisa sekolah juga berharap bisa mempunyai kehidupan yang lebih baik kelak. Meski hanya harapan2 tapi itulah semangat mereka.
Orang2 kuat yang ikhlas menjalani hidup.